Doxing dan bullying dalam kajian fiqih

Apa itu Doxing?


Doxing adalah merupakan aktifitas digital yang dilakukan  dengan sengaja menyebarkan informasi sensitif untuk maksud perundungan. Di negara kita, doxing termasuk pidana pelanggaaran UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). 

Sumber kejahatan doxing, adalah: 

  1. berdasarkan fakta yang dimiliki oleh setiap orang di dunia internet. Misalnya, adalah usernamepassword akun, alamat rumah, dan nomor telepon; dan
  2. terkadang doxing juga dilakukan dengan jalan penyebaran identitas dan riwayat informasi sensitif yang seluruhnya dijadikan dasar untuk melakukan perundungan. 

Problem doxing secara fiqih, adalah:

  1. Bukankah data yang disampaikan oleh seorang doxing berasal dari data riil dan sesuai fakta yang tak terungkap ke publik? 
  2. Bukankah doxing termasuk menyampaikan informasi sesuai dengan realita?


Satu catatan yang perlu di pahami dan penting untuk kita perhatikan adalah, doxing selalu dilakukan untuk maksud melakukan perundungan. Pelaku doxing bisa terdiri dari perorangan—seperti bjorka —atau oleh sekelompok orang atau organisasi, misalnya kasus Muslim Cyber Army (MCA) beberapa waktu lalu yang sempat menghebohkan. 


.Data Pelaku Doxing Tidak Diterima sebagai Bukti Hukum

Islam adalah agama fitrah. Islam tidak mengajarkan seorang hamba agar gemar membuka atau mencari-cari aib pihak lain. Nabi Muhammad Saw suatu ketika pernah menerima pengakuan (iqrar) dari seorang wanita yang melakukan zina. Nabi saw saat itu berpaling hingga dua kali seolah tidak mau mendengar pengakuan wanita tersebut. Baru ketiga kalinya, beliau menerima pengakuannya dan menyuruh dirinya dan keluarganya agar menjaga perempuan tersebut sampai kandungannya lahir, dan setelahnya akan dilakukan hukum rajam. 

Iqrar pada dasarnya adalah ungkapan yang bersumber dari fakta/data diri pelaku. Ketika iqrar sudah dilakukan, maka tidak perlu lagi ada saksi dan bukti. Terhadap hal itupun, Nabi saw tidak langsung menghukumnya, melainkan berpaling sebanyak 2 kali. Apa maksud dari itu semua?



Ibnu Imam al-Kamiliyah (wafat 874 H) di dalam kitabnya menyampaikan hadits dari Sayyidah Aishah ra, bahwa Nabi saw telah bersabda:


ادْرَءُوا الحُدُودَ عَنِ المُسْلِمِينَ ما اسْتَطَعْتُمْ


Artinya, “Tolaklah hudud bagi orang muslim semampu kalian.” (Ibnu Imam al-Kamiliyah, Taisiril Wushul ila Minhajil Ushul, [Kairo: Darul Faruq al-Haditsiyah: 2002], juz VI, halaman 251). 


Masih di dalam kitab yang sama, dicantumkan juga hadits lain yang masyhur di kalangan ulama ahli ushul yaitu hadits riwayat Ibnu Mas’ud ra: 


ادْرَءُوا الحُدُودَ بِالشُّبُهاتِ


Artinya, "Tolaklah penerapan hudud sebab berbagai kesimpangsiuran.” (Al-Kamiliyah, Taisiril Wushul, juz VI, halaman 251). 


Aplikasi dari hadits ini, misalnya seorang pencuri tidak akan dipidana melakukan pencurian, manakala ditemukan adanya qarinah (bukti), yaitu: 

barang curiannya dikembalikan kepada pemilik aslinya; dan 

ada niatan mengembalikan barang. 

 

Kedua mazhinnah ini dapat dijadikan alasan bahwa pelakunya hanya meng-ghashab barang, sehingga berhak menerima ta’zir dan bukan had potong tangan. Kedua mazhinnah inilah yang dimaksud sebagai as-syubuhat atau kesimpangsiuran

sebagaimana hadits yang riwayat Ibn Mas’ud ra di atas. 

Perhatikan penjelasan Ibnu Imam al-Kamiliyah berikut ini:

فورود الخبر في نفي الحد إن لم يوجب الجزم بذلك، فلا أقل من حصول الشبهة، والشبهة تدفع الحد بهذا الحديث. وخالف في ذلك المتكلمون. ويرجح النهي على الأمر، والأمر على الإباحة. والأصح تقديم المثبت للحكم الوضعي على المثبت للحكم التكليفي


Artinya, “Hadirnya hadits di atas menjelaskan penafian had ketika tidak ditemukan adanya bukti yang kuat di dalamnya. Namun hal itu tidak berlaku jika syubhat itu hanya tipis saja. Syubhat (bukti kesamaran hukum) dapat menolak sepenuhnya jatuhnya had berdasarkan hadits ini, meski para ulama mutakallimun menolaknya dan lebih mengunggulkan larangan dibanding shighat perintah. Perintah menolak di atas, hanya menunjuk pengertian ibahah atau kebolehan menolak saja. Namun, pendapat yang paling sahih adalah pengutamaan delik hukum yang mengarah pada diterapkannya hukum wadh’i dibanding delik yang mengarah pada penetapan berlakunya hukum taklifi.” (Al-Kamiliyyah, Taisiril Wushul, juz VI, halaman 251). 


Had adalah hukum taklifi; sementara menolak had dengan keberadaan bukti dan saksi adalah bagian dari hukum wadh’i. Alhasil, adanya saksi dan bukti penolakan had, lebih diutamakan dibanding penerapan had itu sendiri. 


Berangkat dari sini, maka data yang dijadikan dasar pijakan untuk melakukan doxing tidak bisa digunakan untuk menjatuhkan putusan hukum secara Islam sebab tidak keluar langsung dari pelaku. 


Selama pelaku tidak melakukan iqrar secara langsung di hadapan hakim, maka masih diperlukan keberadaan saksi (syahadah) dan bukti (bayyinah) guna menguatkan berlakunya hukum wadh’i (hukum positif). Apabila pelaku doxing (mudda’i) tidak bisa mendatangkan saksi dan bukti, maka had pidana bisa berbalik menimpa dirinya. Karena itu, status mudda’aalaih (korban doxing) niscaya harus dibebaskan dari seluruh beban dakwaan hukum.



Semangat hukum ini senafas dengan lahiriah perintah nash di atas, sebab kehormatan jiwa (hifdhul ’irdly) merupakan salah satu dari lima prioritas utama yang bersifat universal (kulliyatul khams) dalam Islam.


Status Perundungan Lewat Doxing

Karena tidak terpenuhinya syarat dan rukun pengungkapan hukum lewat doxing dalam Islam—karena ketiadaan hadirnya syahadah (saksi yang bisa disumpah) dan bayyinah (bukti) hukum—maka para doxer (dalam pengadilan Islam) otomatis termasuk sebagai pihak-pihak berikut ini: 


Pertama, pihak yang mengumbar aib atau privasi orang tanpa ijin pemilik data. 


Kedua, pelaku pencemaran nama baik korban sebagaimana pelaku qadzaf (tuduhan zina) namun tak mampu menghadirkan saksi dan bukti.


Keduanya masuk dalam ranah perilaku yang dicela oleh syara’, sebagaimana yang termaktub dalam ungkapan Al-Munawi (wafat 1031 H) berikut ini:


(إذا أردت) أي هممت (أن تذكر عيوب غيرك) أي تتكلم بها أو تحدث بها نفسك (فاذكر عيوب نفسك) أي تذكرها واستحضرها في ذهنك وأجرها على قلبك مفصلة عيبا عيبا فإن ذلك يكون مانعا لك من الوقيعة في الناس وعلم مما تقرر أنه ليس المراد إباحة ذكر عيوب الناس بل أن يشتغل بذكر عيوب نفسه


Artinya, "Apabila terbersit kehendakmu untuk mengingat-ingat aib selainmu, membicarakannya dan dirimu selalu ingin membahasnya, maka ingatlah selalu aib-aib dirimu, senantiasa kenang dan hadirkan selalu di dalam perasaanmu dan hatimu akan aib demi aib yang telah kamu lakukan. Itu semua pastilah engkau tidak mau diketahui oleh manusia. Demikian halnya yang berlaku pada diri orang lain, tentu yang dikehendaki adalah bukan bolehnya mencari-cari aib orang lain, melainkan sibuk dengan aib dirinya sendiri." Wallahu a’lam. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Kairo: Maktabah Tijariyah Kubra: 1356 H], juz I, halaman 272).


Sumber:

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik; dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

 

Posting Komentar

0 Komentar